“Ada beberaoa UU yang idealnya dikodifikasi dalam satu UU, yakni undang-undang tentang partai politik (parpol), penyelenggara pemilu, pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota legislatif (pileg), dan pilkada. Kelima undang-undang sebaiknya dikodifikasi karena saling terkait dan terintegrasi,” katanya.
Metode kodifikasi, katanya, memang akan membuat pembahasannya lebih lama dan panjang karena menyatukan berbagai UU dalam satu kitab. Tapi, tegasnya, hal itu akan lebih baik, karena akan banyak menyertakan partisipsi publik, seperti koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan masyarakat pada umumnya.
“Sudah saatnya kita memiliki UU Pemilu yang lebih koheren. Sampai kapan kita akan terus berada pada masa transisi demokrasi setelah masa reformasi dimulai dengan ketiadaan UU Pemilu yang lebih baik,” ucapnya.
Sudah saatnya, kata Donna, demokrasi Indinesia kebih baik dan lebih kuat dengan dukungan keberadaan UU Pemilu yang mengakomodir dengan baik aspirasi dari berbegai kalangan. Dia menyangkan justeru yang berkembang di DPR wacananya adalah revisi UU Pemilu dengam cara ombibus law atau UU sapu jagat.
Padahal, katanya, berbagai kalangan sudah menyampikan masukan bahwa kodifikasi lebih baik daripada revisi parsial atau penggunaan model omnibus.
“Kodifikasi, dapat meminimalkan potensi konflik dan ketidakjelasan. Kita bisa ambil contoh dari UU Omnibus Cipta Kerja yang terus menimbulkan konflik, seperti antara pemerintah, kalangan dunia usaha dengan pekerja,” katanya.